Review Novel “KALA – Kita Adalah Sepasang Luka Yang Saling Melupa”


Judul : KALA – Kita Adalah Sepasang Luka Yang Saling Melupa
Penulis: hujanmimpi & eleftheriawords
Penerbit : Gradien Mediatama
Jumlah Halaman : 347 Halaman

Novel KALA merupakan buku kedua yang ditulis pada tahun 2017 oleh Stefani Bella (hujanmimpi) dan buku pertama yang ditulis oleh Syahid Muhammad (eleftheriawords). Buku ini menceritakan dua orang yang diceritakan dalam dua sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang Lara dan sudut pandang Saka.


Sampul Depan Novel KALA

Novel KALA – Kita adalah luka yang saling melupa, merujuk pada Lara dan Saka yang mempunyai takdir terikat. Lara memiliki luka yang selalu ditinggalkan, dan Saka yang meninggalkan. Lara, memiliki hobi sebagai penulis, yang beranggapan waktu sangat berharga, penuh keteraturan. Sedangkan Saka, memiliki hobi sebagai fotographer dan beranggapan waktu harus dinikmati serta hidup itu  bebas tanpa ada yang mengikat.

Hingga pada suatu ketika mereka dipertemukan pada suatu workshop  dalam sebuah komunitas yang mereka ikuti yaitu komunitas menulis dan fotografi. Lara yang hobi menulis merangkai kalimat-kalimat yang membuat Saka langsung terpukau saat membacanya dan Lara yang melihat hasil foto bidikan Saka mampu mempesona pikirannya. Pertemuan itu berakhir manis, Saka dan Lara bertemu untuk menjalankan perannya masing-masing.

Baca Juga : Review Buku "Menuju Baik Itu Baik"

Novel ini menyajikan persoalan yang sering terjadi pada setiap pasangan. Jarak dan komunikasi, salah satu permasalahan yang ada dalam alur cerita buku ini. Dimana salah pengertian satu sama lain  menyebabkan perselisihan yang rumit. Meskipun demikian, takdir selalu mempertemukan mereka, semesta berkata tidak ada yang kebetulan dalam dunia ini, begitu juga dengan pertemuan Lara dan Saka. 

Bahasa yang imajinatif membuat kita sebagai pembaca harus memiliki imajinasi yang tinggi untuk bisa mengikuti alur cerita novel ini. Novel yang menceritakan dua sudut pandang berbeda membuat kita bisa memiliki penafsiran yang berbeda pula akan kisah akhir dalam novel ini.

Baca Juga : Review Buku "Menikahimu Di Dunia, Berjodoh Hingga Surga"



“Kau datang sebagai pesan pembalasan. Aku datang sebagai dosa yang kau perbuat”

Ibuku selalu mengingatkan bahwa iman adalah sebuah pusaka, yang untuk menjaganya kita harus begitu terbentur dengan banyak kekecewaan dan godaan. Iman adalah roh dari setiap langkah yang kita arahkan pada setiap kesempatan yang kita ambil. Dibutuhkan tonggak yang kuat dan menancap begitu dalam untuk menjaganya tetap tegak (hal 13)

Kita hidup dengan ego masing-masing, tapi nyatanya kita tidak benar-benar masing-masing. Kita begitu, saling. Saling hampir dalam segala hal meski kadang tidak dalam satu waktu. Kita egitu saling memberi satu sama lain, saling membenci, saling mencinta, saling melupa, saling mempengaruhi dan terpengaruh (hal 13)

Aku mengerti bahwa hidup adalah tentang kehilangan-kehilangan yang tak akan pernah usai. Tapi tetap saja aku sama seperti manusia-manusia lain, yang mengutuknya habis-habisan lengkap dengan segala sumpah serapah. Sekali waktu berteriak dalam pekatnya malam, mengapa bertemu jika harus berujung pisah, mengapa menjadi dekat bila akhirnya tercipta jarak ? (hal 18)

Segelas kopi selalu bisa menjadi dewi cinta untuk mempertemukan paradigma-paradigma yang membeku dalam kepala, yang saling mencari pelarian. Percakapan yang hangat pun akan terlahir dari wanginya yang khas (hal 44)

Tetaplah menulis meski dirimu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Atau, lain waktu mungkin kita harus pergi minum kopi bersama untuk membicarakan rasa apa yang sebenarnya sedang terjadi (hal 107)

“Jika perubahan adalah satu-satunya yang pasti, maka ketidak pastian akan dimiliki oleh waktu. Karena pada detak kesekian, aku mendapati diriku jatuh cinta pada seseorang yang tidak ingin secara egois aku miliki. Lalu, kita diselundupkan dalam kala, sebagai pengantar pesan utusan semesta.”

“Di sepertiga hujan, aku menemui sisa-sisa tentangmu. Ingatan-ingatan jatuh begitu ikhlas diatas pelataran kepalaku. Mengguyur semua luka yang tengah merekah. Dan reda, tak mampu menghentikan kehilanganku.” (hal 216)

“Kita adalah sepasang tinta bagi kertas-kertas yang haus akan makna.
Kita pernah menari begitu indah di atasnya
Membentuk paragraph-paragraf yang berisi tentang kita
Kita pernah menjadi prosa paling syahdu yang dinantikan semesta
Namun kau tiba-tiba kehabisan tinta keyakinan
Memilih mengosongkan lembar terakhir
Dan kita, berakhir menjadi puisi yang tak ingin tertuliskan” (hal 218)

Untuk setiap syukur yang kau panjatkan, diam-diam aku pun demikian. Untuk segala doa yang kau sisipkan di sepertiga malam, kubantu aaminkan dengan doa yang serupa. Dan, untuk segala hadirmu yang menenangkan dikala riuh kepalaku, kau adalah penyelamat (hal 239)

Aku pernah, bercerita padamu tentang mimpi-mimpiku yang sekiranya sulit dijangkau.
Aku pernah, membagikan segala suka serta duka kepada kamu yang kukira sudi mendengarkan segala keluh kesah.
Aku pernah, aku pernah begitu sebegitu tergantungnya menceritakan apapun padamu.
Tapi kemudian kamu menghilang, hingga aku lupa, beberapa mimpiku ada sebab kamu. (hal 240)


Kamu tau merdu itu apa ?
Degup jantung kita
Enggak ada apa-apanya
Sama merdunya doa yang diam-diam kita panjatkan
Waktu kita sama-sama rindu

Kamu tau siapa yang paling rindu ?
Tuhan. Tuhan yang paling rindu
Tuhan rindu, waktu kita dipertemukan
Ternyata bikin kita lebih mendekatkan diri kepada Tuhan

Kamu tau siapa yang paling cemburu ?
Semesta yang menurut aku puitis banget sama kejutan-kejutannya
Kalah puitis sama kita yang akhirnya bisa saling menerima
Apa yang lebih pantas dicemburui di dunia ini selain penerimaan ?

Kamu tahu siapa yang paling iri ?
Laut dan ombaknya
Iri sama kita sekarang, yang lebih tenang, lebih dalam, dan lebih menggelegar dari pecahan ombak
Langit, bulan, dan bintangnya
Iri sama kita sekarang, yang lebih terang meski enggak lagi dalam kegelapan (hal 343)

Ada satu hal yang kamu lupa
Semesta itu enggak puitis. Yang puitis itu aku. AKU !
Karena semesta enggak lebih Cuma jadi tanda tanya di puisi aku
Tanda tanya tentang semua peristiwa yang bikin aku bertanya-tanya apa maksudnya

Kamu, adalah yang melahirkan puisi-puisi yang aku buat
Tanpa kamu,puisi yang aku bikin Cuma barisan diksi tanpa nyawa
Kamu itu bukan tanda tanya
Kamu itu tanda kebesaran Tuhan (hal 344)


Terimakasih buat yang udah ngasi novel ini. Semoga sukses slalu dan murah rejekinya. Novel ini keren.



Komentar

Posting Komentar